Kamis, 10 November 2011

Sejarah Peradilan Islam Masa Jahiliyah, Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyididn


BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban[1]. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah.
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[2]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib[3], Zuhayr ibn Abu Sulma[4], Aktsam ibn Şayfi[5], Hājib ibn Zirārah[6], Qus ibn Sā`idah al-Iyādi[7], `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[8], serta Ummayah ibn Abu Şalt[9] dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb[10]. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga. 
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.  
B.     Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
 a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār[11] atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār -dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.
c. Sumber Hukum Peradilan
            Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri[12]`. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya[13].”

d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
“Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).
d. Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.
C.    Sejarah Peradilan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa awal Islam, tugas badan Peradilan dipegang oleh Nabi sendiri. Bila beliau berhalangan, tugas-tugas tersebut diwakilkan kepada orang lain, seperti Muaz yang diangkat menjadi hakim di Yaman, Attab bin Asied yang diangkat menjadi Gubernur di Makkah. Nabi pernah pula mengutus Ali ke Yaman untuk melaksanakan tugas serupa. Pada masa nabi terlihat bahwa tugas pemerintahan dan peradilan berada pada satu lembaga, belum terlihat adanya pemisahan antara kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif. Sewaktu memutuskan suatu perkara, Ali memberi nasehat bahwa bila mereka setuju dengan apa yang dilakukan itu, maka itulah keputusan, dan bila mereka tidak setuju, Ali menasehatkan agar mereka menahan diri dan menyampaikan perkara mereka kepada Nabi untuk dapat diberi keputusan. Akan tetapi, mereka tidak menyetujui keputusan Ali dan mengatakan, itulah keputusan mereka. Dengan demikian, pada masa Nabi sudah ada lembaga banding.
Mengingat pentingnya tugas melaksanakan peradilan, Nabi selalu menguji para hakim yang diutus ke berbagai daerah tentang pengetahuan mereka dalam bidang peradilan. Hal ini terlihat sewaktu Nabi mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman. Nabi menyuruh Muaz merinci secara kronologis dasar hukum yang akan dipedomaninya dalam memutuskan suatu perkara. Hasil Ijtihad para sahabat kemungkinan dikuatkan, ditolak atau disempurnakan nabi. Sebagai contoh Ijtihad dalam memutuskan perkara yang dibenarkan Nabi adalah putusan Ali, sebagaimana Ali memutuskan pembayaran diat yang berbeda terhadap empat orang yang meninggal disebuah kandang Singa, yang mereka masuk kedalamnya secara tarik-menarik, disebabkan dorongan orang-orang yang ingin melihat singa tersebut. Ali hanya menjatuhkan diat yang sempurna untuk laki-laki ke empat yang jatuh ke kandang itu. Para keluarga korban keberatan terhadap keputusan Ali tersebut, sehingga mereka datang kepada nabi dan nabi membenarkan keputusan yang telah ditetapkan Ali.
Begitu juga nabi memberi petunjuk kepada calon hakim bila mereka akan memutuskan suatu perkara. Hal ini terlihat ketika nabi akan mengutus Ali ke Yaman. Para sahabat yang diutus ke daerah-daerah kekuasaan Islam pada dasarnya memutuskan suatu hukun dengan Nash. Perkara yang diputuskan berdasarkan ijtihad, maka hasilnya disampaikan Nabi. Dengan pengangkatan hakim diluar pusat kekuasaan Madinah, terlihat bahwa lembaga peradilan pada masa nabi telah mempunyai dua tingkatan, tingkatan pertama yang dilaksanakan oleh para sahabat dan tingkat banding yang diputuskan oleh nabi sendiri.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, keadaan peradilan relatif sama dengan yang terdapat pada masa nabi. Hal ini terutama disebabkan Abu Bakar sibuk membasmi kaum Murtad dan orang-orang yang membangkang menunaikan zakat, disamping terdapatnya berbagai masalah politik dan pemerintahan. Faktor lain adalah disebabkan daerah kekuasaan Islam masih sama sebagaimana pada masa nabi. Abu bakar menyerah kan urusan qadla' diserahkan kepada umar bin kattab selama dua tahun, namun selama itu tidak pernah terjadi sengketa yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena umar dikenal sebagainya sebagai orang yang keras. Dan karena kaum muslimin pada saat itu dikenal soleh dan toleran terhadap sesama muslim.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan dan Pemerintahan). Dan Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda' sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy'ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir.
Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-'Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama' serta menghimpun pokok-pokok hukum.
Kadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga " Eksekutif dan Yudikatif ", pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek Yurisprudensi.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan pertama kali mendirikan Gedung Pengadilan, yang dimasa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di Masjid. Demikian juga dimasa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali telah ditertibkan Gaji bagi Pejabat-pejabat Peradilan dengan diambilkan dari Khas Baitul Mal yang mula-mula dirintis dimasa Khalifah Abu Bakar
Demikian pula masa Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An Nakha'i sebagai gubernur di Ustur dan mesir dengan pesan-pesannya, agar Ia bertaqwa kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan terhadap rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih Penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan. Pada periode ini, para Qadli mulai mempunyai juru tulis (Panitera)," Sekretaris " yang mencatat dan menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya.







Kesimpulan
           
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
1.        Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga  pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum (wilayah `ammah).
2.        Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman Jahiliyah.
3.        Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
4.        Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
5.        Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
6.        Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.
Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.



[1] Ibn Khaldūn adalah ahli sejarah pertama yang mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh pakar sejarah perdaban seperti Arnold Toynbee dan Mālik Ben Nabi.
[2] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.
[3] `Abd al-Muţallib ibn Hāshim ibn `Abd Manāf (hidup sekitar tahun 500-575 M), pemimpin suku Quraysh pada zaman Jahiliyah dan memegang kepemimpinan tertinggi di Mekah dari tahun 520-579 M). Lihat biografi singkatnya dalam Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. IV, hlm. 154
[4] Zuhayr  ibn Abū Sulmā Rabī`ah ibn Rayyah al-Muzani (w. 609 M), seorang tokoh sastra/penyair bijak dan oleh banyak pakar sastra Arab ditempatkan sebagai penyair terbaik pada era Jahiliyah.
[5] Aktsam ibn Şayfi ibn Rayyah ibn Al-Hārits ibn Mukhāshin ibn Mu`āwiyah al-Tamīmi (w. 630 M). Dikenal sebagai arbitrator (orang bijak, hakīm) pada zaman Arab Jahiliyah. Meninggal tahun 9 H/630 M ditengah perjalanan menuju Madinah bersama 100 orang dari kaumnya untuk masuk Islam.
[6] Hājib ibn Zirārah ibn `Adas al-Dārimi al-Tamīmi (w. 625 M), salah seorang pemuka Arab Jahiliyah dan beberapa kali memimpin Bani Tamim dalam beberapa kesempatan. Masuk Islam dan ditugaskan oleh Nabi SAW untuk mengumpulkan sedekah kaum muslimin Bani Tamim hingga wafatnya.
[7] Qus ibn Sā`idah ibn `Amru ibn `Adiy, ibn Mālik (w. 600 M) dari Bani Iyād. Seorang uskup yang tinggal di Najran. Merupakan salah seorang arbitrator (orang bijak, hakīm) dan sekaligus orator ulung pada zaman Arab Jahiliyah.
[8] `Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah.
[9] Umayyah ibn `Abdullah Abu al-Şalt ibn Abu Rabī`ah ibn `Awf al-Tsaqafi (w. 626M). Berasal dari penduduk Thāif, dikenal sebagai seorang penyair sekaligus arbitrator (orang bijak, hakīm) pada zaman Arab Jahiliyah. Tidak meminum khamr dan tidak pula menyembah berhala. Mengetahui dan mengakui kebenaran Islam, serta pernah berniat masuk Islam. Akan tetapi ketika terjadi perang Badar dan mengetahui dua saudara sepupunya (anak dari saudara laki ibunya) ikut menjadi korban tewas oleh kaum muslimin dalam perang tersebut, ia mengurungkan niatnya hingga akhir hayatnya.
[10] Nama ini disebutkan oleh Dr. `Ali `Abdul Qādir dalam Al-Fiqh al-Islāmi, hlm. 59. Penulis telah mencoba mencari biografi (tarjamah) sosok `Amrah binti Zurayb ini dalam buku-buku tarājim seperti Al-A`lām dan lainnya, serta buku-buku sejarah malalui fasilitas searching Software Al-Maktabah al-Shāmilah namun belum menemukannya.

[11] Hidhār (حظار ) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas. Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989,  hlm.183

[12] Pembahasan mengenai ijtihad Nabi SAW maupun keberadaan beliau sebagai penyampai tashrī` ataupun sebagai musharri` dapat ditelaah dalam buku-buku usūl al-fiqh.
[13] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.

0 komentar:

Posting Komentar