Gus Mus

"Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang ? Kalau anda dicela sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah ?" Gus Mus

Gus Mus

"Yang menghina agamamu justru tidak bisa merusak agamamu. Yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan agamamu" Gus Mus

Gus Dur

"Tidak penting apa agama dan sukumu, Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu" Gus Dur

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 05 Maret 2014

Pihak yang Dimenangkan dalam Berperkara

A.                Pendahuluan
Melihat berbagai kasus yang marak diberitakan di media cetak maupun elektronik kaitannya dengan keadilan yang menjadi sorotan publik terkadang menjadi kajian yang menarik lebih-lebih masalah keadilan dalam peradilan khususnya yang menyangkut putusan seorang hakim.
Seorang yang bersedia menjadi Hakim tentunya adalah seorang yang siap mental dan pengetahuannya tentang hukum, mengingat tugas-tugasnya yang sangat berat yaitu memutuskan perkara yang putusannya tidak boleh merugikan pihak manapun.
Maka dari itu pemakalah mencoba akan membahas bagaimana prosedur seorang Hakim dalam memutuskan sebuah perkara dan pihak yang dimenangkan dalam sebuah perkara, semoga makalah ini bisa menjadi bahan kajian hadits ahkam,dan  tentunya semoga akan memberikan manfaat yang berarti bagi kita semua.
B.                 Pembahasan
1.      Hadits tentang pihak yang dimenangkan dalam perkara
حَدَّثَنَا سَعِيْد بْنُ سُوَيْدٍ.حَدَّثَنَايَحْيَ بْنُ سُلَيْمٍ،عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمِ،عَنْ أَبِيْ الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ، قَالَ:لَمَّارَجَعَتْ إِلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلّم مُهَاجِرَةُ الْبَحْرِ، قَالَ:"أًلَاتُحَدِّثُوْنِى بٍأَعَاجِيْبِ مَارَأًيْتُمْ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ؟" قَالَ فِتْيَةٌ مِنْهُمْ: بَلٰى. يَارَسُوْلَ اللهِ!بَيْنَا نَحْنُ جُلُوْسٌ، مَرَّتْ بِنَا عَجُوْزٌ مِنْ عَجَاىِٔزِ رَهَابِيْنِيْهِمْ تَحْمِلُ عَلَى رَأْسِهَاقُلَّةً مِنْ مَاءٍ. فَمَرَّتْ بِفَتًى مِنْهُمْ. فَجَعَلَ إِحْدَى يَدَيْهِ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ دَفَعَهَا. فَخَرَّتْ عَلَى رُكْبَتِيْهَا. فَانْكَسَرَتْ قُلَّتُهَا. فَلَمَّاارتَفَعَتِ، التفَتَتْ اِلَيْهِ فَقَالَتْ: سَوْفَ تَعْلَمُ، يَاغُدَرُ! إِذَاوَضَعَ اللهُ الْكُرْسِيَّ، وَجَمَعَ الْاَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ، وَتَكَلَّمَتِ الأَيْدِي وَالْأَرْجُلُ بِمَاكَانُوْايَكْسِبُوْنَ، فَسَوْفَ تَعْلَمُ كَيْفَ أَمْرِي وَأَمْرُكَ. عِنْدَهُ غَدًا
قال : يقول رسول الله صلى الله عليه وسلّمصلى الله عليه وسلّم : صَدَقَتْ. صَدَقَتْ. كَيْفَ يُقَدِّسُ اللهُ اُمَّةً لاَيُؤْخَذُ لِضَعِيْفِهٍمْ مِنْ شَدِيْدِهِمْ؟[1]   
Artinya : Maukah kalian menceritakan padaku kejaiban-keajaiban yang kau lihat di bumi Habasyah? Beberapa Pemuda diantara mereka menjawab : Ya, Wahai Rosulallah! Suatu ketika kami sedang duduk-duduk, Salah seorang pendeta wanita tua lewat didepan kami memanggul satu kullah air.Ia berpapasan dengan seorang pemuda dari mereka. Kemudian pemuda tersebut memukulkan salah satu tangannya pada tengkuk dan mendorongnya, maka nenek tersebut tersungkur diatas dua lutunya, dan kullahnya pecah. Maka ketika nenek itu bangun, dan menoleh kepada pemuda tadi dan berkata : kau akan tahu, wahai bodoh, ketika Allah meletakan kursi, dan mengumpulkan orang-orang terdahulu dan orang-orang akhir, dan tangan-tangan dan kaki-kaki menceritakan tentang yang mereka perbuat, maka kau akan tahu seperti apa keadaanku dan keadaanmu disisi Allah kelak. Jabir berkata : Rosul SAW bersabda: “Sungguh benar, Bagaimana Allah mensucikan umat dari dosa jika hak si lemah tidak diambil dari si kuat

Hadits diatas menjelaskan tentang adanya penghindaran kesucian ummat dari dosa karena tidak memperlakukan secara adil terhadap hak orang yang lemah. Serta wajib menolong orang yang lemah hingga ia dapat mengambil haknya dari orang yang kuat.[2]
Dalam Al-qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 135 Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٣٥)
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[3] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”[4]
Ketika kita mengorelasikan ayat Al-qur’an dan Hadits diatas maka akan ditemukan sebuah titik temu akan pentingnya suatu keadilan dalam sebuah putusan perkara dengan mengesampingkan dorongan nafsu dan syahwat berupa kekayaan, kemiskinan, atau kekerabatan bahkan orang yang rendah dan mulia, orang yang dekat dan jauh  semuanya adalah sama kedudukannya dihadapan hukum,serta menuntut akan adanya putusan terhadap suatu perkara terhadap orang yang berhak.

2.      Kedudukan Hakim dalam Putusan Perkara
Dalam sebuah persengketaan antar orang yang berperkara tentunya diperlukan sebuah putusan yang tidak merugikan pihak manapun dan tidak pula menguntungkan salah satu pihak. Maka di sini kedudukan seorang Hakim sangatlah penting karena Hakim adalah orang yang paling pas dan yang paling berwenang untuk memutuskan sebuah perkara yang ada dalam persidangan. Keadilan dan kebijaksanaan seorang hakim sangatlah dituntut. Ia tidak boleh berpihak pada siapapun dan putusannya hanyalah berdasarkan fakta.[5]
Namun seorang Hakim juga tidak bisa lepas dari predikat sebagai manusia pada umumnya yang tidak sempurna. Hakim tidak selalu benar dalam memutuskan perkara (menemukan hukum). Nabi Muhammad SAW bersabda :
عن عمرِو بنٍ العَاصِ رضي الله عنه انّهُ سمعَ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلّم يقولُ:(إِذَا حَكَمَ [6]الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ،وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أًخْطَأَفَلَهُ أَجْرٌ)
متّفق عليه
Artinya : Dari Amr bin Ash, sesungguhnya dia mendengar Rosul SAW bersabda : “Ketika hakim memutuskan perkara kemudian berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala, dan jika hakim berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala” (HR.Bukhori Muslim)
Hadits diatas memberikan motivasi dan semangat bagi para Hakim untuk berusaha memutuskan perkara dengan baik, dengan hadiah apabila benar dua pahala, dan apabila kurang tepat satu pahala. Selain itu kedudukan Hakim juga sangat rentan dengan tindak penyelewengan, lebih-lebih sekarang ini kita lihat marak diberitakannya diberbagai  media massa  tentang kasus penyuapan Hakim oleh pihak-pihak yang berperkara agar dirinya dimenangkan dalam perkaranya. Rosulullah SAW mengingatkan kita dengan sabda beliau:
عَنْ بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قال: قال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلّمَ: (الْقَضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اَثْنَانِ فِى النَّارِ،وَوَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقٌّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَفِى الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَفِى النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَفِى النَّارِ)رواه الأربعة، وصحّحه الحاكم[7].
Artinya : Dari Buraidah r.a. berkata : Rosul SAW bersabda : “Hakim itu ada tiga macam, dua diantaranya masuk neraka, dan yang satu masuk surge, yaitu Hakim yang mengetahui perkara yang haq, lalu memutuskannya dengan sebenar-benarnya, maka dia masuk surge, dan Hakim yang mengetahui perkara yang haq lslu tifsk memutudi perksrs dengan haq maka dia masuk neraka, dan Hakim yang tidak mengetahui perkaranya lalu memutusi manusia atas kebodohannya, maka dia masuk neraka” (HR.Arba’ah)
Hadits diatas merupakan ancaman yang jelas bagi para penegak hukum khususnya Hakim agar memutuskan perkara dengan sebenar-benarnya dan tidak melakukan tindak penyelewengan terhadap putusan-putusannya.

3.      Prosedur Putusan Hakim
Dalam sebuah perkara dihadapan majlis persidangan keadilan seorang Hakim sangatlah dituntut, hal ini agar dalam putusan nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan, karena pengadilan itu sendiri adalah tempat untuk menuntut adanya sebuah keadilan dan kepastian hukum, dan dalam lingkup ini Hakim adalah orang yang paling pas dan semestinya memberikan keadilan tersebut. Oleh sebab itulah ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum putusan dijatuhkan, diantaranya :[8]
1.      Keterangan dari pihak-pihak yang berperkara
Penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit yang menjadi dasar gugatannya. Peristiwa konkrit inilah yang menjadi titik tolak hakim dalam memeriksa dan mengadili. Kemudian tergugat juga mengemukakan peristiwa konkrit sebagai jawaban dari penggugat. Setelah itu dibukalah kesempatan jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat yang tujuannya ialah agar Hakim dapat memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang disengketakan oleh para pihak. Dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat Hakim akan berusaha menyimpulkan tentang peristiwa konkrit apakah yang sekiranya disengketakan. Rosul SAW juga bersabda :

و عن عَلِىِّ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : (إِذَاتَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتًّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ،فَسَوْفَ تَدْرِى كَيْفَ تَقْضِى) قَالَ عَلِىٌّ: فَمَازِلْتُ قَاضِيًابَعْدُ: رواه أحمدوأبو داودوالتّرمذيّ، وحسّنه وقوّاه ابن المَدِيْنِيِّ وصحّحه ابن حبّان، وله شاهدٌ عندالحاكم، من حديث ابن عبّاس[9]
Artinya :Dari Ali r.a. berkata : Rosulullah SAW bersabda : “Ketika engkau memutusii dua orang yang berperkara maka janganlah kamu memutusi keterangan orang yang pertama sampai kamu mendengar keterangan yang lainnya”
2.      Pembuktian keterangan kronologis yang sebenarnya (Fakta)
Setelah Hakim memperoleh keterangan dari kedua belah pihak maka Hakim harus memastikan akan terjadinya peristiwa konkrit yang disengketakan. Hakim harus mengkonstantir peristiwa konkrit yang disengketakan tersebut. Maksud dari mengkonstantir ini adalah menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pembuktian terhadap peristiwa konkrit yang disengketakan itu. Pembuktian ini dapat dilakukan dengan : surat(maktubah), saksi(syahadah), persangkaan, pengakuan(ikrar), sumpah(Yamin)[10] dan Riddah(murtad), pemeriksaan koneksitas(tabayyun), alat bukti untuk pidana[11]. Penggugat wajib membuktikan gugatannya dan tergugat wajib pula membuktikan bantahannya.[12]
3.      Pencarian Hukum dan Pengambilan Keputusan
Kemudain setelah Hakim mengkonstantir peristiwa konkrit yang disengketakan antar pihak, maka tahapan selanjutnya adalah tahap penemuan hukum dan penetapan putusan.
Menemukan atau mencari hukum tidaklah sekedar mencari hukumnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit yang dicarikan hukumnya. Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk mencari hukum agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit maka peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada hukumnya, sebaliknya pula hukum itu harus disesuaikan dengan perstiwa konkrit, tujuannya adalah supaya hukum tersebut dapat meliputi peristiwa konkrit tersebut.[13]
Setelah hukumnya diketemukan dan kemudian hukumnya diterapkan pada peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusannya, Ia harus memperhatikan 3 faktor yang seyogyanya diterapkan secara proposional, yaitu : Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan[14].
Jika hakim dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas dan tujuan peradilan, maka sudah barang tentu kehidupan ini akan damai dan keadilan dapat berjaya tanpa tercoreng oleh tindakan atau putusan Hakim yang memihak, baik karena suap, simpatik atau yang lainnya.

C.                Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang Hakim sangat dituntut untuk berlaku adil tanpa memihak pada salah satu pihak yang berperkara dengan mengesampingkan dorongan nafsu dan syahwat berupa kekayaan, kemiskinan, ataupun kekerabatan, bahkan orang yang rendah ataupun mulia, orang yang dekat maupun jauh, semuanya dihadapan hukum adalah sama, tidak ada pihak yang salah namun dibenarkan begitu pula tidak ada pihak yang benar namun disalahkan, putusan hakim hanyalah berdasarkan fakta.
Sebelum hakim menjatuhkan putusan ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu : tahap mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, tahap pembuktian peristiwa konkrit dan barulah tahap pengambilan keputusan.
Putusan seorang Hakim juga harus mencakup tiga aspek yaitu : keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
D.                Penutup
Demikianlah akhirnya dapat terselesaikan juga makalah ini, meskipun masih jauh dari kata sempurna, pemakalah menerima kritik dan saran yang membangun guna terciptanya hasil yang lebih baik dikemudian hari




DAFTAR PUSTAKA


Abi Abdullah Muhammad Mazid Al Quroini,Sunan Ibnu majah, 1990, Darul fikr, Juz2,hal.499
Abdullah bin Abdurrohman Al Bassam,pent. Thahirin, Syarah Bulughul Maram, 2007, Jakarta : Pustaka Azzam.
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, 2008, Haramain
Lubis Sulaikin,dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, 2006, Jakarta: Kencana.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, 1999, Yogyakarta : Liberty
M.Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, 2005, Jakarta : Kencana


[1] Abi Abdullah Muhammad Mazid Al Quroini,Sunan Ibnu majah, 1990, Darul fikr, Juz 2,hal.499
[2] Abdullah bin Abdurrohman Al Bassam,Syarah Bulughul Maram, Alih Bahasa Thahirin Suparta,dkk, Pustaka Azzam, 2003, hal 224
[3] Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.
[4]  Al-Qur’an dan Terjemahnya,  (Jakarta : Depag.RI, 2000)
[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, “Hukum Acara perdata Di Indonesia” Liberty, Yogyakarta 1998, hal 166
[6] Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Bulughul Maram, Al-Haramain, hal.315
[7] Ibid, hal.315
[8] Opcit, hal 167
[9] Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Bulughul Maram, Al-Haramain, hal.316
[10] Drs.M.Fauzan,SH.,MM., “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia”, kencana, Jakarta 2005, hal.35
[11] Sulaikin Lubis,dkk, Hukum Acara Perdata peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta,2006, hal.138-139
[12] Opcit, hal. 92
[13] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, “Hukum Acara perdata Di Indonesia” Liberty, Yogyakarta 1998, hal.166-167
[14] Ibid, hal.168