Kamis, 10 November 2011

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A.   PERIODE PENJAJAHAN 
1.    MASA PENJAJAHAN BELANDA
Perkembangan dan diakuinya hukum Islam sebagai hukum positif Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak datangnya Islam ke Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia[1].  Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat  terkait kapan datangnya Islam ke Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia yaitu pada abad ke-7 M, hal ini didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini merupakan bukti perkembangan komunitas Islam termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit[2].
  Pada akhir abad keenam belas atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda bernama  Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. 
 Pada waktu VOC pertama kali menguasai Indonesia kurang menghiraukan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia. Setelah kekuasaan kompeni diambil oleh kerajaan belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama karena ada gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin-pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang abad ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru dapat berakhir (formil) pada tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang Sumatera Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang berasal dari kitab hukum Islam.
Melalui ahli hukumnya Van Den Berg, lahirlah teori  receptio in complexu  yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh  menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi[3].
Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang  beragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah). Munculnya teori Receptio In Complexu  ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa  pemerintahan Hindia Belanda walaupun pada dasarnya hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda tiba di Indonesia.
Namun kemudian,Teori  receptio in complexu kemudian ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori  receptie  (resepsi) yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Munculnya teori  receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Hindia Belanda sebagai realisasi teori  receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam  dengan cara:
1)  Sama sekali tidak memasukkan masalah  hudud dan  qishash dalam bidang hukum pidana. Mengenai hukum pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek Van Strafrecht yang mulai berlaku sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2)  Dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk kajian yang berhubungan dengan politik ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras.
3)  Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat yaitu:
1)  Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat);
2)  Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan  kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Adanya teori resepsi ini yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat yang dalam realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937 No.  116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada saat itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat berat karena harus berhadapan dengan hukum adat dan hukum pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu. Dampaknya adalah hukum Islam yang telah berlaku secara formal dipersempit ruang geraknya oleh pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang menyelesaikan hukum waris yang sebelumnya  menjadi wewenang pengadilan agama dialihkan menjadi wewenang pengadilan negeri. 

2.    MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia sebagai akibat pecahnya perang Pasifik. Kedatangan Jepang mula-mula disambut dengan senang hati bangsa Indonesia karena telah mengusir Belanda yang telah ratusan tahun menguasai Indonesia. Kebijakan yang ditempuh Jepang yaitu berusaha merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja sama. Dia mengklaim dirinya sebagai saudara tua rakyat Indonesia. Tujuannya untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan  perang. Kelanjutan dari kebijakan politiknya secara bertahap yaitu Jepang mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya telah dibekukan. Selain itu Jepang memberi motivasi kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi-organisasi Islam baru.  Dalam sejarah modern Indonesia, Jepang tercatat sebagai pemerintah pertama yang memberi tempat penting kepada golongan Islam.
Beberapa alasan Jepang mengesahkan pendirian ormas-ormas Islam yaitu:
a.    Untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari penduduk di pedesaan diperlukan organisasi yang dipatuhi penduduk yaitu organisasi para ulama.
b.    Dengan pengesahan secara formal lebih mempermudah Jepang untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi Islam.
c.    Jepang tidak berhasil mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Indonesia dengan pengakuannya terhadap fungsi putra dan Jawa Hokokai.
d.    Jepang bermaksud menebus dosa beberapa kesalahannya terhadap kalangan Islam.
  Pada awal kekuasaannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di Ibukota Jakarta, selanjutnya membentuk Hizbullah, semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Terwadahinya para ulama dan para pemuda Islam membuat Jepang tidak menaruh kecurigaan kepada para pemimpin Islam. Dalam kondisi itulah para ulama dengan bebas dapat menyebarluaskan hukum Islam keberbagai lapisan masyarakat.
Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda). Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang  (Osamu Sairei)  tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang tersebut cukup menguntungkan masyarakat Islam walaupun dibalik itu maksud tujuan Jepang adalah hanya untuk mencari simpati dan dukungan rakyat Indonesia semata. Kebijakan Jepang cukup menguntungkan karena adanya beberapa kebebasan yang diberikan seperti diakuinya kembali organisasi-organisasi Islam dan membentuk organisasi Islam yang baru seperti Hizbullah yaitu semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang mana kebijakan itu tidak diberikan  pada waktu pemerintahan Hindia Belanda. Namun kebijakan tersebut tidak diikuti pada kebijakan peradilan agama karena kebijakan yang dikeluarkan hanya merubah nama dalam peradilan agama tetapi isinya sama dengan kebijakan sewaktu pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan Jepang tidak banyak memberikan pengaruh bagi kondisi perkembangan hukum Islam karena singkatnya waktu Jepang menguasai Indonesia menyusul kemerdekaan Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945.

B.   MASA KEMERDEKAAN
1.    ORDE LAMA
Perjuangan mengangkat hukum Islam juga dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat menjelang kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi yang dituangkan dalam PiagamJakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya perjuangan tersebut mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam yang telah diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.
Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia  adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwayakni dengan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis”. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid tidak  mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan dalam waktu dekat ideologi ini terkubur dengan sendirinya.
Dunia peradilan agama juga berada dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap diberlakukannya lembaga ekskutorial verklaring  artinya setiap putusan pengadilan agama baru mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari pengadilan negeri. Hal itu menjadikan pengadilan agama selalu berada dalam posisi di bawah pengadilan negeri karena dapat berlaku atau tidaknya putusan-putusan pengadilan agama tergantung kepada pengadilan negeri. Di samping itu, pengadilan agama dicabut kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa orde lama khususnya masalah kewarisan. Mahkamah Agung menegaskan bahwa sepanjang mengenai warisan diseluruh Indonesia, hukum yang adat harus didahulukan yakni di daerah-daerah yang amat  kuat pengaruh Islamnya, karena sedikit banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena itu wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai warisan berada pada pengadilan negeri biasa. Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam penerapannya yaitu  pengadilan agama hanya diberi wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat beragama Islam. Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto memberikan kriteria  bahwa yang termasuk orang Islam adalah sebagai berikut:
a.    Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin menurut pandangan sesama warga negara. Ia tidak menolak disebut orang Islam termasuk melangsungkan perkawinan secara Islam dan menginginkan dikubur secara Islam jika meninggal dunia.
b.    Orang yang dengan sukarela telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
c.    Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam.
d.    Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam, tetapi juga menjalankan kewajiban keagamaan khususnya shalat dan puasa.
Pada masa orde lama ini, kondisi hukum Islam belum menandakan adanya perbaikan bahkan menurut Warkum Sumitro pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat suram. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan hukum agama selalu dikendalikan oleh manifesto politik, adanya kebijakan yang tidak berpihak terhadap organisasi-organisasi Islam yang dinilai memiliki peran besar dalam penegakan hukum Islam di Indonesia, bahkan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis”.                       
2.    ORDE BARU
Runtuhnya kekuasaan Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada awal orde baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena ternyata setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus diperketat bahkan disertai dengan isu-isu sensitif  trauma masa lalu tentang pembangkangan pemimpin-pemimpin Islam. 
Memperhatikan sikap pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partai-partai politik seperti itu, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai “berubah haluan” perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah  menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”. Di dalam perkembangannya, perjungan untuk mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidang-bidang hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum perkawinan yang dapat dikatakan berhasil dalam bentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut pendapat Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori  receptie. Karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional itu, maka:
a.    Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai apakah perkawinan sah atau tidak,
b.    Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum Barat,
c.    Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu  untuk memenuhi kebutuhan hukum umat Islam.
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam  memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan departemen agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di  Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.[4]
Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap hukum Islam juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pada  masa orde baru, pemerintah membatasi dan memperketat pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang semula ingin mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. 
Perubahan arah perjuangan tersebut diantaranya yaitu bagaimana berjuang mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat diterapkan secara praktis dan secara hukum adalah sah. Perjungan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menurut Hazairin dan Mahadi dengan  lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian teori receptie karena dengan  berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui hukum adat. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. 
3.    ERA REFORMASI DAN SEKARANG
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia termasuk diantaranya dalam wilayah hukum. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang  kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai sekarang ini.
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.[5] Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan 119
Partisipasi masyarakat dalam hukum nasional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 53 undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Ini  berarti bila masyarakat menghendaki, maka hukum Islam dapat diajukan menjadi rancangan undang-undang atau perda untuk menjadi hukum nasional. Di samping itu, dalam RPJPN 2005-2025 juga dinyatakan bahwa kemajemukan tatanan hukum yang berlaku di masyarakat harus diperhatikan dalam pembaruan materi hukum nasional. Dengan demikian, hukum Islam sebagai hukum yang tumbuh dimasyarakat juga tidak boleh diabaikan. Memang pemanfaatan hukum Islam sebagai bahan baku pembentukan hukum nasional agak diabaikan oleh RPJMN 2004-2009. Namun demikian, RPJMN tidak mungkin menolak ketika aspirasi masyarakat menunjukkan akan keinginan untuk diperhatikannya hukum Islam bagi pembentukan hukum  nasional, apalagi RPJMN hanya berlaku selama 5 tahun.120
Sejak bergulirnya era reformasi, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengakomodir nilai-nilai hukum Islam. Kondisi Islam pada masa era reformasi juga menunjukkan tanda-tanda positif.
Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang  telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang diantaranya yaitu: 
a.    Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, 
b.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, 
c.    Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, 
d.    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, 
e.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan  atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 
f.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber  daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.
g.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
h.    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankkan Syariah.
i.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. 
Disamping berbagai undang-undang di atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah.Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis. Sistem pemerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD 1945. Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat menjadikan pemerintah daerah lebih otonom. Otonomi daerah inilah yang mengakibatkan munculnya  perda-perda yang banyak bernuansa syariah. Para politisi muslim menjadi motor penggerak lahirnya perda-perda itu.
Banyaknya undang-undang dan peraturan daerah yang bernuansakan hukum Islam di Indonesia pada era reformasi sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa keinginan masyarakat Indonesia sangat besar agar hukum Islam dijadikan sebagai hukum positif. Hal ini ini terjadi karena kebijakan politik dan hukum pemerintah pada  era reformasi ini memungkinkan terjadinya hal tersebut. Pada era reformasi ini juga muncul berbagai organisasi-organisasi Islam yang ikut meramaikan perjuangan.

C.   POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai konsekuensi era reformasi dan dalam waktu bersamaan dalam kondisi yang krisis seperti sekarang ini, hukum Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber hukum nasional. Arti sumber disini akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam system peradilan agama, sepeti selama ini. Namun juga dalam sistrm peradilan (meliputi materi hukum dan system kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum) yang lebih luas. Termasuk dalam konteks ini menempatkan fiqh sebagai salah satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum, yang dapat memberi arti bahwa fiqh atau hukum islam menjadi sumber kajian dalam dunia ilmu hukum dan sekaligus sumber hukum materiil. Namun bahwa fiqh yang ada disini harus berupa fiqh yang memang sudah sesuai dengan tuntunan zaman, bukan dalam pengertian pasif dan jumud.
Bukan pula hanya sekedar mentransfer fiqh yang merupakan produk beberapa abad lalu. Tapi juga tidak berarti harus membuang begitu saja hasil pemikirran fuqaha masa yang sudah silam. Pemikiran atau karya fuqaha’ masa lalu merupakan living knowledge (pelajaran hidup) yang sangat berarti bagi pemikiran masa kini. Bahkan juga tidak mustahil kalau juga menjadi sumber pemikiran sekarang, sebagai proses historical continuity dalam tradisi akademik.
Kalau menempatkan fiqh atau hukum islam dalam jajaran sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam tataran operasional atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan sumber melalui beberapa jalur atau alur, anatara lain sebagai berikut:[6]
  1. Peraturan perundang-undangan.
  2. Sumber kebijakan pelaksana pemerintahan yang tidak secara langsung dalam pengertian legislasi sebagai mana peraturan pemerintah, namun dalam konteks kedisiplina n secara administrative, meskipun pada akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai legislasi pula.
  3. Yurisprudensi.
  4. Sumber bagi penegak hukum,polisi, jaksa, dan pengacara.
  5. Sumber ilmu hukum atau filsafat hukum.
  6. Sumber nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus sebagai sumber kebiasaan.
Dari uaraian diatas, dapatlah kita katakana bahwa lahirnya reformasi total di Indonesia menjadi kesempatan dan sekaligus tantangan bagi kajian hukum Islam. Kalau semula kajian hukum Islam seoalah melangit atau ngawang-ngawang, oleh karena didominasi oleh model menghafal hasil pemikiran ulama yang telah sekian abad lalu, kini kajian hukum islam sudah saatnya untuk mampu bersifat empiris dan realistis (membumi yang mudah dipahami dan kemudian diamalkan oleh pemeluknya). Para pemikir hukum islam dituntut untuk mempu meletakan hukum islam untuk mampu berperan dan berdaya guna dalam rangka keperluan kehidupan umat islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Disini ada peluang besar sekali bagi kedudukan hukum Islam, namun juga sekaligus tantangan kemampuan para pelaku kajiannya. Konsekuensinya, model dan kajian pendekatan hukum islam di Indonesia, terutama sekali di lembaga-lembaga akademik seperti PT dan pusat kajian, sudah waktunya untuk diperbaharui. Model, pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh di IAIN, STAIN, PTAIS perlu diadakan reorientasi atau bahkan perubahan agar benar-benar bermanfaat dan memenuhi tuntutan tadi.. ini meliputi merekonstruksi pemikiran hukum islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan bahasa hukum pada umumnya. Usaha positivisasi hukum islam merupakan suatu keharusan baik dalam konteks kajian akademik yang selalu mengikuti ekelektisisme maupun proses demokratisasi yang mendasarkan pada mayoritas penduduk. Pada akhirnya menjadi tantangan bahwa islam harus mampu menunjukan janji besarnya, yaitu rahmatan lil alamin dan li al-tahqiq mashalih al nas. Inilah tantangan bagi para ahli hukum islam dan sekaligus bagi para ahli hukum umum.




[1]Sirajuddin,  Legislasi Hukum Islam di Indonesia, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2008,  hlm. 69
[2]  Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembanganya
di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-89.
[3]  Saidus Syahar. Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 105-106
[4]  A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hlm. 103-104
[5] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, ctk. Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002.hlm. 169
[6] Qodri Azizy.Eklektisisme Hukum Nasional.2002. hal. 245-252

0 komentar:

Posting Komentar