Gus Mus

"Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang ? Kalau anda dicela sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah ?" Gus Mus

Gus Mus

"Yang menghina agamamu justru tidak bisa merusak agamamu. Yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan agamamu" Gus Mus

Gus Dur

"Tidak penting apa agama dan sukumu, Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu" Gus Dur

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 10 November 2011

Sejarah Peradilan Islam Masa Jahiliyah, Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyididn


BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban[1]. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah.
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[2]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib[3], Zuhayr ibn Abu Sulma[4], Aktsam ibn Şayfi[5], Hājib ibn Zirārah[6], Qus ibn Sā`idah al-Iyādi[7], `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[8], serta Ummayah ibn Abu Şalt[9] dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb[10]. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga. 
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.  
B.     Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
 a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār[11] atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār -dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.
c. Sumber Hukum Peradilan
            Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri[12]`. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya[13].”

d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
“Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).
d. Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.
C.    Sejarah Peradilan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa awal Islam, tugas badan Peradilan dipegang oleh Nabi sendiri. Bila beliau berhalangan, tugas-tugas tersebut diwakilkan kepada orang lain, seperti Muaz yang diangkat menjadi hakim di Yaman, Attab bin Asied yang diangkat menjadi Gubernur di Makkah. Nabi pernah pula mengutus Ali ke Yaman untuk melaksanakan tugas serupa. Pada masa nabi terlihat bahwa tugas pemerintahan dan peradilan berada pada satu lembaga, belum terlihat adanya pemisahan antara kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif. Sewaktu memutuskan suatu perkara, Ali memberi nasehat bahwa bila mereka setuju dengan apa yang dilakukan itu, maka itulah keputusan, dan bila mereka tidak setuju, Ali menasehatkan agar mereka menahan diri dan menyampaikan perkara mereka kepada Nabi untuk dapat diberi keputusan. Akan tetapi, mereka tidak menyetujui keputusan Ali dan mengatakan, itulah keputusan mereka. Dengan demikian, pada masa Nabi sudah ada lembaga banding.
Mengingat pentingnya tugas melaksanakan peradilan, Nabi selalu menguji para hakim yang diutus ke berbagai daerah tentang pengetahuan mereka dalam bidang peradilan. Hal ini terlihat sewaktu Nabi mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman. Nabi menyuruh Muaz merinci secara kronologis dasar hukum yang akan dipedomaninya dalam memutuskan suatu perkara. Hasil Ijtihad para sahabat kemungkinan dikuatkan, ditolak atau disempurnakan nabi. Sebagai contoh Ijtihad dalam memutuskan perkara yang dibenarkan Nabi adalah putusan Ali, sebagaimana Ali memutuskan pembayaran diat yang berbeda terhadap empat orang yang meninggal disebuah kandang Singa, yang mereka masuk kedalamnya secara tarik-menarik, disebabkan dorongan orang-orang yang ingin melihat singa tersebut. Ali hanya menjatuhkan diat yang sempurna untuk laki-laki ke empat yang jatuh ke kandang itu. Para keluarga korban keberatan terhadap keputusan Ali tersebut, sehingga mereka datang kepada nabi dan nabi membenarkan keputusan yang telah ditetapkan Ali.
Begitu juga nabi memberi petunjuk kepada calon hakim bila mereka akan memutuskan suatu perkara. Hal ini terlihat ketika nabi akan mengutus Ali ke Yaman. Para sahabat yang diutus ke daerah-daerah kekuasaan Islam pada dasarnya memutuskan suatu hukun dengan Nash. Perkara yang diputuskan berdasarkan ijtihad, maka hasilnya disampaikan Nabi. Dengan pengangkatan hakim diluar pusat kekuasaan Madinah, terlihat bahwa lembaga peradilan pada masa nabi telah mempunyai dua tingkatan, tingkatan pertama yang dilaksanakan oleh para sahabat dan tingkat banding yang diputuskan oleh nabi sendiri.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, keadaan peradilan relatif sama dengan yang terdapat pada masa nabi. Hal ini terutama disebabkan Abu Bakar sibuk membasmi kaum Murtad dan orang-orang yang membangkang menunaikan zakat, disamping terdapatnya berbagai masalah politik dan pemerintahan. Faktor lain adalah disebabkan daerah kekuasaan Islam masih sama sebagaimana pada masa nabi. Abu bakar menyerah kan urusan qadla' diserahkan kepada umar bin kattab selama dua tahun, namun selama itu tidak pernah terjadi sengketa yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena umar dikenal sebagainya sebagai orang yang keras. Dan karena kaum muslimin pada saat itu dikenal soleh dan toleran terhadap sesama muslim.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan dan Pemerintahan). Dan Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda' sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy'ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir.
Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-'Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama' serta menghimpun pokok-pokok hukum.
Kadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga " Eksekutif dan Yudikatif ", pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek Yurisprudensi.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan pertama kali mendirikan Gedung Pengadilan, yang dimasa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di Masjid. Demikian juga dimasa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali telah ditertibkan Gaji bagi Pejabat-pejabat Peradilan dengan diambilkan dari Khas Baitul Mal yang mula-mula dirintis dimasa Khalifah Abu Bakar
Demikian pula masa Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An Nakha'i sebagai gubernur di Ustur dan mesir dengan pesan-pesannya, agar Ia bertaqwa kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan terhadap rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih Penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan. Pada periode ini, para Qadli mulai mempunyai juru tulis (Panitera)," Sekretaris " yang mencatat dan menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya.







Kesimpulan
           
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
1.        Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga  pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum (wilayah `ammah).
2.        Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman Jahiliyah.
3.        Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
4.        Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
5.        Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
6.        Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.
Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.



[1] Ibn Khaldūn adalah ahli sejarah pertama yang mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh pakar sejarah perdaban seperti Arnold Toynbee dan Mālik Ben Nabi.
[2] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.
[3] `Abd al-Muţallib ibn Hāshim ibn `Abd Manāf (hidup sekitar tahun 500-575 M), pemimpin suku Quraysh pada zaman Jahiliyah dan memegang kepemimpinan tertinggi di Mekah dari tahun 520-579 M). Lihat biografi singkatnya dalam Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. IV, hlm. 154
[4] Zuhayr  ibn Abū Sulmā Rabī`ah ibn Rayyah al-Muzani (w. 609 M), seorang tokoh sastra/penyair bijak dan oleh banyak pakar sastra Arab ditempatkan sebagai penyair terbaik pada era Jahiliyah.
[5] Aktsam ibn Şayfi ibn Rayyah ibn Al-Hārits ibn Mukhāshin ibn Mu`āwiyah al-Tamīmi (w. 630 M). Dikenal sebagai arbitrator (orang bijak, hakīm) pada zaman Arab Jahiliyah. Meninggal tahun 9 H/630 M ditengah perjalanan menuju Madinah bersama 100 orang dari kaumnya untuk masuk Islam.
[6] Hājib ibn Zirārah ibn `Adas al-Dārimi al-Tamīmi (w. 625 M), salah seorang pemuka Arab Jahiliyah dan beberapa kali memimpin Bani Tamim dalam beberapa kesempatan. Masuk Islam dan ditugaskan oleh Nabi SAW untuk mengumpulkan sedekah kaum muslimin Bani Tamim hingga wafatnya.
[7] Qus ibn Sā`idah ibn `Amru ibn `Adiy, ibn Mālik (w. 600 M) dari Bani Iyād. Seorang uskup yang tinggal di Najran. Merupakan salah seorang arbitrator (orang bijak, hakīm) dan sekaligus orator ulung pada zaman Arab Jahiliyah.
[8] `Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah.
[9] Umayyah ibn `Abdullah Abu al-Şalt ibn Abu Rabī`ah ibn `Awf al-Tsaqafi (w. 626M). Berasal dari penduduk Thāif, dikenal sebagai seorang penyair sekaligus arbitrator (orang bijak, hakīm) pada zaman Arab Jahiliyah. Tidak meminum khamr dan tidak pula menyembah berhala. Mengetahui dan mengakui kebenaran Islam, serta pernah berniat masuk Islam. Akan tetapi ketika terjadi perang Badar dan mengetahui dua saudara sepupunya (anak dari saudara laki ibunya) ikut menjadi korban tewas oleh kaum muslimin dalam perang tersebut, ia mengurungkan niatnya hingga akhir hayatnya.
[10] Nama ini disebutkan oleh Dr. `Ali `Abdul Qādir dalam Al-Fiqh al-Islāmi, hlm. 59. Penulis telah mencoba mencari biografi (tarjamah) sosok `Amrah binti Zurayb ini dalam buku-buku tarājim seperti Al-A`lām dan lainnya, serta buku-buku sejarah malalui fasilitas searching Software Al-Maktabah al-Shāmilah namun belum menemukannya.

[11] Hidhār (حظار ) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas. Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989,  hlm.183

[12] Pembahasan mengenai ijtihad Nabi SAW maupun keberadaan beliau sebagai penyampai tashrī` ataupun sebagai musharri` dapat ditelaah dalam buku-buku usūl al-fiqh.
[13] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A.   PERIODE PENJAJAHAN 
1.    MASA PENJAJAHAN BELANDA
Perkembangan dan diakuinya hukum Islam sebagai hukum positif Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak datangnya Islam ke Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia[1].  Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat  terkait kapan datangnya Islam ke Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia yaitu pada abad ke-7 M, hal ini didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini merupakan bukti perkembangan komunitas Islam termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit[2].
  Pada akhir abad keenam belas atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda bernama  Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. 
 Pada waktu VOC pertama kali menguasai Indonesia kurang menghiraukan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia. Setelah kekuasaan kompeni diambil oleh kerajaan belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama karena ada gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin-pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang abad ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru dapat berakhir (formil) pada tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang Sumatera Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang berasal dari kitab hukum Islam.
Melalui ahli hukumnya Van Den Berg, lahirlah teori  receptio in complexu  yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh  menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi[3].
Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang  beragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah). Munculnya teori Receptio In Complexu  ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa  pemerintahan Hindia Belanda walaupun pada dasarnya hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda tiba di Indonesia.
Namun kemudian,Teori  receptio in complexu kemudian ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori  receptie  (resepsi) yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Munculnya teori  receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Hindia Belanda sebagai realisasi teori  receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam  dengan cara:
1)  Sama sekali tidak memasukkan masalah  hudud dan  qishash dalam bidang hukum pidana. Mengenai hukum pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek Van Strafrecht yang mulai berlaku sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2)  Dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk kajian yang berhubungan dengan politik ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras.
3)  Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat yaitu:
1)  Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat);
2)  Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan  kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Adanya teori resepsi ini yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat yang dalam realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937 No.  116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada saat itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat berat karena harus berhadapan dengan hukum adat dan hukum pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu. Dampaknya adalah hukum Islam yang telah berlaku secara formal dipersempit ruang geraknya oleh pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang menyelesaikan hukum waris yang sebelumnya  menjadi wewenang pengadilan agama dialihkan menjadi wewenang pengadilan negeri. 

2.    MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia sebagai akibat pecahnya perang Pasifik. Kedatangan Jepang mula-mula disambut dengan senang hati bangsa Indonesia karena telah mengusir Belanda yang telah ratusan tahun menguasai Indonesia. Kebijakan yang ditempuh Jepang yaitu berusaha merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja sama. Dia mengklaim dirinya sebagai saudara tua rakyat Indonesia. Tujuannya untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan  perang. Kelanjutan dari kebijakan politiknya secara bertahap yaitu Jepang mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya telah dibekukan. Selain itu Jepang memberi motivasi kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi-organisasi Islam baru.  Dalam sejarah modern Indonesia, Jepang tercatat sebagai pemerintah pertama yang memberi tempat penting kepada golongan Islam.
Beberapa alasan Jepang mengesahkan pendirian ormas-ormas Islam yaitu:
a.    Untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari penduduk di pedesaan diperlukan organisasi yang dipatuhi penduduk yaitu organisasi para ulama.
b.    Dengan pengesahan secara formal lebih mempermudah Jepang untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi Islam.
c.    Jepang tidak berhasil mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Indonesia dengan pengakuannya terhadap fungsi putra dan Jawa Hokokai.
d.    Jepang bermaksud menebus dosa beberapa kesalahannya terhadap kalangan Islam.
  Pada awal kekuasaannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di Ibukota Jakarta, selanjutnya membentuk Hizbullah, semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Terwadahinya para ulama dan para pemuda Islam membuat Jepang tidak menaruh kecurigaan kepada para pemimpin Islam. Dalam kondisi itulah para ulama dengan bebas dapat menyebarluaskan hukum Islam keberbagai lapisan masyarakat.
Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda). Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang  (Osamu Sairei)  tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang tersebut cukup menguntungkan masyarakat Islam walaupun dibalik itu maksud tujuan Jepang adalah hanya untuk mencari simpati dan dukungan rakyat Indonesia semata. Kebijakan Jepang cukup menguntungkan karena adanya beberapa kebebasan yang diberikan seperti diakuinya kembali organisasi-organisasi Islam dan membentuk organisasi Islam yang baru seperti Hizbullah yaitu semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang mana kebijakan itu tidak diberikan  pada waktu pemerintahan Hindia Belanda. Namun kebijakan tersebut tidak diikuti pada kebijakan peradilan agama karena kebijakan yang dikeluarkan hanya merubah nama dalam peradilan agama tetapi isinya sama dengan kebijakan sewaktu pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan Jepang tidak banyak memberikan pengaruh bagi kondisi perkembangan hukum Islam karena singkatnya waktu Jepang menguasai Indonesia menyusul kemerdekaan Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945.

B.   MASA KEMERDEKAAN
1.    ORDE LAMA
Perjuangan mengangkat hukum Islam juga dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat menjelang kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi yang dituangkan dalam PiagamJakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya perjuangan tersebut mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam yang telah diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.
Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia  adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwayakni dengan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis”. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid tidak  mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan dalam waktu dekat ideologi ini terkubur dengan sendirinya.
Dunia peradilan agama juga berada dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap diberlakukannya lembaga ekskutorial verklaring  artinya setiap putusan pengadilan agama baru mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari pengadilan negeri. Hal itu menjadikan pengadilan agama selalu berada dalam posisi di bawah pengadilan negeri karena dapat berlaku atau tidaknya putusan-putusan pengadilan agama tergantung kepada pengadilan negeri. Di samping itu, pengadilan agama dicabut kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa orde lama khususnya masalah kewarisan. Mahkamah Agung menegaskan bahwa sepanjang mengenai warisan diseluruh Indonesia, hukum yang adat harus didahulukan yakni di daerah-daerah yang amat  kuat pengaruh Islamnya, karena sedikit banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena itu wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai warisan berada pada pengadilan negeri biasa. Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam penerapannya yaitu  pengadilan agama hanya diberi wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat beragama Islam. Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto memberikan kriteria  bahwa yang termasuk orang Islam adalah sebagai berikut:
a.    Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin menurut pandangan sesama warga negara. Ia tidak menolak disebut orang Islam termasuk melangsungkan perkawinan secara Islam dan menginginkan dikubur secara Islam jika meninggal dunia.
b.    Orang yang dengan sukarela telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
c.    Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam.
d.    Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam, tetapi juga menjalankan kewajiban keagamaan khususnya shalat dan puasa.
Pada masa orde lama ini, kondisi hukum Islam belum menandakan adanya perbaikan bahkan menurut Warkum Sumitro pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat suram. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan hukum agama selalu dikendalikan oleh manifesto politik, adanya kebijakan yang tidak berpihak terhadap organisasi-organisasi Islam yang dinilai memiliki peran besar dalam penegakan hukum Islam di Indonesia, bahkan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis”.                       
2.    ORDE BARU
Runtuhnya kekuasaan Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada awal orde baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena ternyata setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus diperketat bahkan disertai dengan isu-isu sensitif  trauma masa lalu tentang pembangkangan pemimpin-pemimpin Islam. 
Memperhatikan sikap pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partai-partai politik seperti itu, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai “berubah haluan” perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah  menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”. Di dalam perkembangannya, perjungan untuk mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidang-bidang hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum perkawinan yang dapat dikatakan berhasil dalam bentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut pendapat Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori  receptie. Karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional itu, maka:
a.    Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai apakah perkawinan sah atau tidak,
b.    Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum Barat,
c.    Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu  untuk memenuhi kebutuhan hukum umat Islam.
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam  memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan departemen agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di  Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.[4]
Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap hukum Islam juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pada  masa orde baru, pemerintah membatasi dan memperketat pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang semula ingin mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. 
Perubahan arah perjuangan tersebut diantaranya yaitu bagaimana berjuang mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat diterapkan secara praktis dan secara hukum adalah sah. Perjungan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menurut Hazairin dan Mahadi dengan  lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian teori receptie karena dengan  berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui hukum adat. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. 
3.    ERA REFORMASI DAN SEKARANG
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia termasuk diantaranya dalam wilayah hukum. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang  kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai sekarang ini.
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.[5] Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan 119
Partisipasi masyarakat dalam hukum nasional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 53 undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Ini  berarti bila masyarakat menghendaki, maka hukum Islam dapat diajukan menjadi rancangan undang-undang atau perda untuk menjadi hukum nasional. Di samping itu, dalam RPJPN 2005-2025 juga dinyatakan bahwa kemajemukan tatanan hukum yang berlaku di masyarakat harus diperhatikan dalam pembaruan materi hukum nasional. Dengan demikian, hukum Islam sebagai hukum yang tumbuh dimasyarakat juga tidak boleh diabaikan. Memang pemanfaatan hukum Islam sebagai bahan baku pembentukan hukum nasional agak diabaikan oleh RPJMN 2004-2009. Namun demikian, RPJMN tidak mungkin menolak ketika aspirasi masyarakat menunjukkan akan keinginan untuk diperhatikannya hukum Islam bagi pembentukan hukum  nasional, apalagi RPJMN hanya berlaku selama 5 tahun.120
Sejak bergulirnya era reformasi, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengakomodir nilai-nilai hukum Islam. Kondisi Islam pada masa era reformasi juga menunjukkan tanda-tanda positif.
Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang  telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang diantaranya yaitu: 
a.    Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, 
b.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, 
c.    Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, 
d.    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, 
e.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan  atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 
f.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber  daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.
g.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
h.    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankkan Syariah.
i.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. 
Disamping berbagai undang-undang di atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah.Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis. Sistem pemerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD 1945. Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat menjadikan pemerintah daerah lebih otonom. Otonomi daerah inilah yang mengakibatkan munculnya  perda-perda yang banyak bernuansa syariah. Para politisi muslim menjadi motor penggerak lahirnya perda-perda itu.
Banyaknya undang-undang dan peraturan daerah yang bernuansakan hukum Islam di Indonesia pada era reformasi sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa keinginan masyarakat Indonesia sangat besar agar hukum Islam dijadikan sebagai hukum positif. Hal ini ini terjadi karena kebijakan politik dan hukum pemerintah pada  era reformasi ini memungkinkan terjadinya hal tersebut. Pada era reformasi ini juga muncul berbagai organisasi-organisasi Islam yang ikut meramaikan perjuangan.

C.   POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai konsekuensi era reformasi dan dalam waktu bersamaan dalam kondisi yang krisis seperti sekarang ini, hukum Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber hukum nasional. Arti sumber disini akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam system peradilan agama, sepeti selama ini. Namun juga dalam sistrm peradilan (meliputi materi hukum dan system kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum) yang lebih luas. Termasuk dalam konteks ini menempatkan fiqh sebagai salah satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum, yang dapat memberi arti bahwa fiqh atau hukum islam menjadi sumber kajian dalam dunia ilmu hukum dan sekaligus sumber hukum materiil. Namun bahwa fiqh yang ada disini harus berupa fiqh yang memang sudah sesuai dengan tuntunan zaman, bukan dalam pengertian pasif dan jumud.
Bukan pula hanya sekedar mentransfer fiqh yang merupakan produk beberapa abad lalu. Tapi juga tidak berarti harus membuang begitu saja hasil pemikirran fuqaha masa yang sudah silam. Pemikiran atau karya fuqaha’ masa lalu merupakan living knowledge (pelajaran hidup) yang sangat berarti bagi pemikiran masa kini. Bahkan juga tidak mustahil kalau juga menjadi sumber pemikiran sekarang, sebagai proses historical continuity dalam tradisi akademik.
Kalau menempatkan fiqh atau hukum islam dalam jajaran sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam tataran operasional atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan sumber melalui beberapa jalur atau alur, anatara lain sebagai berikut:[6]
  1. Peraturan perundang-undangan.
  2. Sumber kebijakan pelaksana pemerintahan yang tidak secara langsung dalam pengertian legislasi sebagai mana peraturan pemerintah, namun dalam konteks kedisiplina n secara administrative, meskipun pada akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai legislasi pula.
  3. Yurisprudensi.
  4. Sumber bagi penegak hukum,polisi, jaksa, dan pengacara.
  5. Sumber ilmu hukum atau filsafat hukum.
  6. Sumber nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus sebagai sumber kebiasaan.
Dari uaraian diatas, dapatlah kita katakana bahwa lahirnya reformasi total di Indonesia menjadi kesempatan dan sekaligus tantangan bagi kajian hukum Islam. Kalau semula kajian hukum Islam seoalah melangit atau ngawang-ngawang, oleh karena didominasi oleh model menghafal hasil pemikiran ulama yang telah sekian abad lalu, kini kajian hukum islam sudah saatnya untuk mampu bersifat empiris dan realistis (membumi yang mudah dipahami dan kemudian diamalkan oleh pemeluknya). Para pemikir hukum islam dituntut untuk mempu meletakan hukum islam untuk mampu berperan dan berdaya guna dalam rangka keperluan kehidupan umat islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Disini ada peluang besar sekali bagi kedudukan hukum Islam, namun juga sekaligus tantangan kemampuan para pelaku kajiannya. Konsekuensinya, model dan kajian pendekatan hukum islam di Indonesia, terutama sekali di lembaga-lembaga akademik seperti PT dan pusat kajian, sudah waktunya untuk diperbaharui. Model, pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh di IAIN, STAIN, PTAIS perlu diadakan reorientasi atau bahkan perubahan agar benar-benar bermanfaat dan memenuhi tuntutan tadi.. ini meliputi merekonstruksi pemikiran hukum islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan bahasa hukum pada umumnya. Usaha positivisasi hukum islam merupakan suatu keharusan baik dalam konteks kajian akademik yang selalu mengikuti ekelektisisme maupun proses demokratisasi yang mendasarkan pada mayoritas penduduk. Pada akhirnya menjadi tantangan bahwa islam harus mampu menunjukan janji besarnya, yaitu rahmatan lil alamin dan li al-tahqiq mashalih al nas. Inilah tantangan bagi para ahli hukum islam dan sekaligus bagi para ahli hukum umum.




[1]Sirajuddin,  Legislasi Hukum Islam di Indonesia, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2008,  hlm. 69
[2]  Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembanganya
di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-89.
[3]  Saidus Syahar. Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 105-106
[4]  A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hlm. 103-104
[5] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, ctk. Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002.hlm. 169
[6] Qodri Azizy.Eklektisisme Hukum Nasional.2002. hal. 245-252